Summary: Karena bagi mereka, kelima gadis itu sangatlah berharga. Bersinar layaknya mentari, tersenyum layaknya bunga yang bermekaran, memberi melodi indah layaknya nyanyian burung-burung. Because those girls are their beautiful black pearls…

Romance/Drama | SHINee & f(x) | Multichapters

PG rated.

The idea originally came from my head, but the characters are belong to their families and God itself.

Black Pearl © Park Sooyun

Verse two for Jongna

 

 

Bagi Kim Jonghyun, sekolah merupakan sebuah neraka. Bagaimana tidak? Ia dipaksa untuk mempelajari segala materi pelajaran yang sama sekali tidak disukainya. Ia juga merasa terkadang sekolah tidak adil. Misalnya, pelajaran Matematika menghabiskan waktu lima jam dalam seminggu, sedangkan pelajaran Seni Musik hanya diberi waktu dua jam dalam seminggu. 

Itu sama sekali tidak adil.

Dan kenapa pula ia harus masuk ke sekolah ini? Bakat dan minatnya terletak pada musik, bukan pelajaran akademik. Dalam musik ia bisa saja menjadi Einstein, tapi dalam akademik ia hanya menjadi orang idiot yang diolok-olok orang lain.

Jika saja ayahnya mau mengerti bahwa passion-nya berada di musik. Jika saja ayahnya mau mengabulkan permintaannya untuk bersekolah di sekolah khusus musik. Jika saja ayahnya bukan seorang dosen Ilmu Kimia yang menganggap bahwa kesuksesan dunia hanya bisa diraih oleh orang yang berkecimpung di bidang akademik.

Namun itu mustahil, ‘kan? Apa yang terjadi, ya begitulah adanya.

Sebentar lagi adalah waktunya untuk Ujian Semester Satu. Walaupun masih semester satu, namun ujian ini juga penting karena akan dipakai untuk masuk ke perguruan tinggi. Namun jujur saja, Jonghyun sama sekali belum siap. Faktanya, ia tidak akan siap.

Jonghyun mendesah dengan nada frustasi sambil mengacak-acak rambutnya. Mapel pertama yang akan diujikan adalah Matematika. But his brain was created only for music!

Buku catatan Matematika milik Key yang ada dihadapannya langsung ditutup Jonghyun lalu dimasukkan ke dalam tas. Buku berisi deretan rumus turunan kosinus itu sama sekali tidak masuk ke kepalanya. Pada akhirnya, Jonghyun malah mengambil buku tulisnya dan menulis sederet nada dalam not balok.

“Bagaimana dengan buku catatanku? Lengkap, ‘kan?”

Jonghyun melongok ke arah kanan dan melihat Key. Ia mendengus kesal. “Mau lengkap atau tidak, tetap saja aku tidak paham!”

Sahabatnya tertawa. “Kurasa kau tidak berbakat dalam bidang akademik, Jonghyun.”

“Memang,” timpal Jonghyun pendek. Ia kembali menulis sederet not balok di buku tulisnya.

“Apa itu?” tanya Key.

“Ini adalah lagu baru untuk festival musik bulan depan. Aku akan berpartisipasi di sana,” jawab Jonghyun.

Key menggelengkan kepalanya lalu berdecak pelan. “Ckckck… Ujian tinggal seminggu dan kau malah mengurusi festival musik yang dimulai sebulan lagi. Benar-benar ya…”

“Jika kau tidak setuju, lebih baik kau tidak usah ikut campur,” sahut Jonghyun ketus. Ia memang mudah marah bila seseorang menasehatinya tentang passion-nya dalam musik.

“Bukannya aku tidak setuju,” kata Key. “Aku hanya khawatir kalau kau malah terpaksa tidak lulus. Nilai semester satu juga penting karena menunjang kelulusan saat di semester dua.”

Jonghyun terdiam sejenak lalu mendesah. “Aku tahu itu. Tapi sulit bagiku untuk berkonsentrasi dalam hal yang tidak kusukai!”

“Ya, ya, ya. Itu juga masalah yang cukup rumit. Tapi tenang saja, Kim Jonghyun. Sebagai sahabat aku akan membantumu,” kata Key.

***

Akhirnya Ujian Semester Satu telah lewat. Walaupun begitu, Jonghyun masih dibuat ketar-ketir olehnya. Belajar bersama Key selama ujian berlangsung hanya membantunya sangat sedikit. Hanya sekitar sepuluh persen materi yang masuk ke dalam otaknya. Yah, mungkin itu disebabkan karena Key bukanlah ahli pelajaran akademik seperti Onew yang sudah lulus tahu lalu. Key lebih bersifat netral. Nilai akademik dan non-akademiknya selalu seimbang, tidak jelek dan tidak terlalu buruk. Hanya mapel Bahasa Inggris yang benar-benar dia kuasai.

Sehari sebelum ujian berlangsung, Jonghyun telah diberi peringatan oleh ayahnya. Bila ia mendapat nilai jelek kali ini, maka ia akan dipaksa untuk pindah ke luar negeri dan harus bersekolah lagi di sekolah khusus pelajaran akademik.

Jelas saja, itu merupakan suatu ancaman serius.

Bersekolah di Seoul sudah cukup buruk. Ia tidak mau menambah beban otaknya dan membuat perasaannya bunuh diri karena melakukan hal yang tidak ia sukai.

Hari ini Jonghyun berangkat ke sekolah dengan lesu. Ia begitu pesimis akan hasil yang diperolehnya. Begitu masuk kelas, ia langsung duduk di samping Key yang sedang membaca novel berbahasa Inggris.

Key meliriknya. “Pesimis, ya?”

Pertanyaan itu hanya dijawab Jonghyun dengan anggukan lemah. “Jika nilaiku jelek, ayahku akan memindahkanku ke luar negeri.

Mata Key terbelalak kaget. “Heh?! Serius?”

“Aku tidak bercanda,” kata Jonghyun. “Beliau akan memasukkanku ke dalam sekolah Ilmu Fisika atau Ilmu Kimia…”

“Jika kau ke sana, itu sama saja dengan bunuh diri,” komentar Key.

“Memang.”

Key menggelengkan kepalanya dengan prihatin. “Jangan tersinggung ya, tapi aku ingin sekali menghajar ayahmu. Semua orang tahu bakatmu ada di musik! Kau ini seorang Einstein dalam bidang musik! Kenapa ayahmu tidak mau mengerti?”

“Karena menurut beliau,” ujar Jonghyun, “profesi dengan gaji tinggi hanya bisa didapatkan dalam bidang akademik seperti dokter, dosen atau pengacara. Menurutnya, pemusik tidak akan memiliki kesempatan seperti itu!”

“Wah, wah… Darimana ayahmu mendapat doktrin semacam itu?” tanya Key dengan skeptis. “Mungkin aku sudah kabur dari rumah jika aku punya ayah seperti ayahmu.”

Jonghyun terdiam. Ia menelungkupkan kepalanya dengan kedua tangannya.

Beberapa saat kemudian, wali kelas masuk. Seluruh siswa merinding ketika melihat tumpukan kertas―yang tentunya berisi nilai-nilai hasil ujian kemarin―yang dibawa sang wali kelas.

“Kertas ini akan saya bagikan,” kata wali kelas. “Tolong dibaca baik-baik dan minta orangtua kalian menandatanganinya.”

Tak perlu waktu lama, Jonghyun sudah menerima kertas tersebut. Dibukanya kertas itu secara perlahan.

Hasil ujian dari siswa bernama: Kim Jonghyun.

Baru membaca awalnya saja sudah membuat Jonghyun merinding disko.

Bahasa Korea             : 7,5

Bahasa Inggris                        : 7,0

Matematika                  : 4,3

Fisika                           : 3,4

Biologi                         : 5,7

Kimia                           : 4,0

Seni Musik                   : 9,8

ICT                              : 8,0

 

“Aku akan mati…” gumam Jonghyun.

Key mengintip isi kertas tersebut dari bahu Jonghyun. “Aku turut berduka cita. Semoga kau selamat, Jonghyun,” kata Key dengan simpati.

***

“Nilai macam apa ini?!”

Baru saja sampai di rumah, Jonghyun sudah dihadiahi oleh omelan ayahnya. Wajah Tuan Kim memerah, hidungnya mengembang lalu mengempis lagi dan matanya melotot ke arah Jonghyun. Tentu saja beliau sangat marah pada putranya.

“Ini karena kau terlalu mengurusi musik!” semprot ayahnya. “Mulai sekarang, kau tidak boleh bermain musik lagi!”

Mata Jonghyun terbelalak. “Ta-tapi, Ayah…”

“Kau terlalu keras pada Jonghyun,” Nyonya Kim muncul lalu mengelus pundak suaminya. Beliau menatap Jonghyun dengan prihatin. “Cobalah untuk mengerti. Mungkin Jonghyun memang tidak berbakat di bidang akademik.”

“Tidak bisa!” bentak Tuan Kim. “Apa yang akan dikatakan orang-orang bila melihat Kim Jonghyun―anak dari seorang dosen Kimia yang sukses―nantinya menjadi seorang musisi? Lagipula profesi sebagai musisi tidak bisa menjamin kehidupannya! Kau akan kupindahkan ke Amerika Serikat dalam tiga bulan!”

“Tidakkah itu terlalu berat?” tanya Nyonya Kim.

“Aku sudah terlalu lama memberi toleransi bagi Jonghyun!” jawab Tuan Kim dengan emosi. “Jika ia masih memihak pada musik dan tidak ingin kupindahkan ke Amerika Serikat, maka ia harus mendapatkan nilai delapan pada Matematika dan IPA!”

Akhirnya pertengkaran antara suami-istri itu terjadi lagi. Jonghyun agaknya sudah terbiasa dengan hal itu. Ayahnya tetap ngotot pada pemikirannya tentang penghormatan dan material, sedangkan ibunya mendukung segala langkah Jonghyun dalam bermusik.

Namun ia tercengang ketika mendengar ayahnya yang mengajukan syarat kebebasan. Ia harus mendapatkan nilai delapan untuk mapel Matematika dan IPA. Tapi bagaimana caranya?

Jonghyun mengepalkan tangannya erat-erat ketika emosi mulai melanda dirinya. Amarah makin memuncak dalam dirinya, namun ia coba untuk tahan. Ia masih ingat bila laki-laki yang ada di hadapannya ini adalah ayahnya sendiri yang masih ia hormati.

Memang benar apa yang dikatakan ayahnya. Profesi sebagai musisi mungkin tidak menjamin kehidupannya, mungkin tidak memberikan penghasilan seperti ayahnya yang seorang dosen. Namun setidaknya menjadi musisi bisa menjamin kebahagiaannya.

Bukankah orangtua menginginkan anaknya bahagia? Lalu, bila musik adalah pilihan yang bisa membuatnya bahagia, mengapa ayahnya begitu menolaknya mentah-mentah? Bila nyatanya pilihan ayahnya membuatnya sengsara, apa yang akan dilakukan ayahnya nanti ketika melihatnya sama sekali tidak bahagia? Menangis atau justru tertawa senang?

Karena makin tak tahan dengan hidupnya, Jonghyun berlari ke luar rumah. Ia tidak memperdulikan semprotan sang ayah ataupun seruan dari ibunya.

Ia hanya ingin berlari dari hidupnya yang penuh dengan keterpaksaan.

***

Selama berjam-jam Jonghyun menghabiskan waktunya di bawah pohon dekat bangunan sekolahnya. Ia terduduk di sana―termenung dan terkadang menyanyi-nyanyi kecil. Pikirannya melalang jauh ke saat dimana ia pertama kali mengikuti lomba menyanyi.

Saat itu ia masih kelas empat SD. Guru Seni Musik-nya menunjuk Jonghyun untuk mengikuti lomba tersebut karena percaya bahwa Jonghyun memiliki bakat menyanyi.

Ia begitu senang saat diumumkan menjadi juara satu. Ia turun dari panggung lalu memeluk ibunya erat-erat. Namun kebahagiaannya menghilang begitu melihat sang Ayah yang tadi duduk di bangku penonton tiba-tiba pergi ke arah tempat parkir begitu Jonghyun diumumkan sebagai pemenang. Saat itu ia belum mengerti bahwa ayahnya tidak merestuinya masuk ke dalam jalur musik.

Keadaan semakin rumit ketika ia bergabung di band SMP. Ayahnya memarahinya habis-habisan, berkata dengan kasar dan sejelas-jelasnya bahwa tidak ada masa depan bagi seorang musisi. Tidak ada materi yang mengalir selayaknya profesi lain. Tidak ada penghormatan yang diberikan orang-orang karena yang dilakukannya hanyalah bermain musik atau menyanyi.

Jonghyun akan dilanda emosi bila mengingat perkataan ayahnya dulu. Seolah-olah musik tidak layak untuk dicintai seseorang, seolah musik bukanlah suatu bidang dimana orang bisa berprestasi dan mendapatkan penghargaan.

Ia menghela napas. Kini hidupnya terasa sangat buruk. Ia dipaksa untuk menjauhi satu-satunya hal yang ia suka dan dihadapkan padahal dua pilihan sulit: ayahnya yang sangat dihormatinya atau musik yang telah ia cintai selama bertahun-tahun.

Lamunan Jonghyun terhenti ketika ia mendengar sebuah lantunan lagu. Dari suaranya dapat langsung ditebak bila yang menyanyi adalah seorang gadis. Penasaran, Jonghyun mengikuti arah datangnya lantunan lagu tersebut hingga sampai di teras ruang guru. Seorang gadis berambut coklat sedang duduk di sana. Dia bernyanyi namun matanya terpaku pada buku yang dipegangnya.

Si gadis menyadari kehadiran Jonghyun.

“Ah, Jonghyun-ssi?” sapa gadis itu sambil tersenyum kecil.

Kedua alis Jonghyun bertaut.

“Aku tahu namamu karena kau adalah salah satu anggota band sekolah yang sering tampil,” tambah si gadis. “Perkenalkan, namaku Luna.”

Oke, kini Jonghyun merasa horor pada gadis bernama Luna itu. Ia belum mengatakan apapun namun Luna telah menjawab pertanyaan dalam otaknya.

“Tidak perlu heran. Aku sudah membaca puluhan buku tentang psikologi dan raut wajahmu menggambarkan isi pemikiranmu.”

Jonghyun mendekati Luna dan duduk di sampingnya. “Kau bilang raut wajahku menggambarkan isi pikiranku?”

Luna mengangguk. “Ya. Kedua alismu bertaut ketika aku menyapamu, itu artinya kau heran mengapa aku mengetahui namamu padahal kau tidak kenal denganku. Lalu keningmu berkerut dan matamu melebar, tanda kau mengira ada sesuatu yang aneh karena aku bisa membaca isi pikiranmu.”

Wow, itu teori yang sangat luar biasa. Jonghyun tidak mengira bahwa apa yang diungkapkan manusia lewat ekspresi dan raut wajah terkadang dapat mencerminkan apa yang mereka pikirkan. Gadis bernama Luna ini sungguh cerdas.

“Kau bersekolah di sini?” tanya Jonghyun.

“Ya. Aku berada di tingkat tiga.”

“Hm, itu artinya kita seumuran, ‘kan?”

Luna menggeleng. “Kurasa tidak.”

“Kenapa?” Jonghyun bertanya lagi. Jangan bilang jika Luna memiliki kisah yang sama seperti Victoria, kekasih sahabatnya, yang dulu pernah mengalami kecelakaan parah dan harus menghabiskan waktu selama satu setengah tahun untuk memulihkan diri hingga akhirnya dia harus mengulang kelas di tingkat tiga. (baca: Verse One)

“Saat di SMP, aku mengambil kelas akselerasi. Begitu juga di SMA. Aku menghabiskan waktu satu tahun untuk menyelesaikan tingkat satu dan tingkat dua.”

Jonghyun tercengang. Kiranya Onew adalah satu-satunya orang jenius di sekolahnya yang dulunya gila belajar dan selalu membawa buku Biologi kemana-mana. Ternyata masih ada ‘penerus’ Onew di sekolah ini. Dan itu adalah Luna.

“Wow, itu hebat,” puji Jonghyun.

Gadis itu tertawa. “Tidak juga. Banyak orang yang mengira bahwa mengikuti kelas akselerasi adalah sesuatu yang hebat dan menyenangkan. Padahal nyatanya tidak terlalu. Aku sendiri tidak memiliki banyak teman dan masa remajaku ‘terpotong’ karena kelas akselerasi tersebut,” Luna tersenyum. “Disaat teman-temanku sedang asyik mengikuti karya wisata, aku harus mengikuti ujian kelulusan. Itu… agak menganggu.”

Ternyata menjadi orang jenius juga ada resikonya, batin Jonghyun. Ia menyadari bahwa mendapatkan label sebagai ‘orang cerdas’ dalam bidang akademik tidak selalu menyenangkan. Heh, kalau ia sih tidak pernah ngedumel walaupun bidang akademiknya sangat buruk. Setidaknya ia jenius di bidang musik.

“Menjadi seorang jenius memang susah, ya,” gumam Jonghyun. “Orang-orang banyak yang berkata bahwa aku adalah Einstein dalam bidang musik, namun sayangnya ayahku tidak merestuiku untuk menjadi musisi.”

Luna tersenyum simpati. “Kurasa kita memiliki persamaan.”

“Ya,” balas Jonghyun lalu tersenyum kecil. “Oh ya, tadi kau menyanyikan sebuah lagu. Apa judulnya?”

“This Is Me dari Demi Lovato,” jawab Luna. “This is me, this is real. I’m exactly where I’m suppose to be now~

“Kau memiliki suara yang indah,” puji Jonghyun.

Luna hanya tertawa kecil menanggapinya. “Terima kasih. Tapi sayangnya aku tidak terlalu tahu soal musik, jadi aku hanya bisa menyanyi. Well, kurasa aku harus pulang karena jam hampir menunjukkan pukul lima sore. Penjaga sekolah akan menutup gerbang satu jam lagi, jadi sebaiknya kau bersiap sebelum gerbangnya ditutup, Jonghyun-ssi. Sampai jumpa~!”

Gadis itu menaruh buku yang tadi dibacanya ke dalam tas merahnya. Dia tersenyum, melambaikan tangan pada Jonghyun lalu berlari ke arah gerbang sekolah seperti anak kecil. Jonghyun tertawa melihatnya. Ia terdiam sebentar ketika ia teringat lagu yang tadi dinyanyikan Luna.

“This is me, this is real. I’m exactly where I’m suppose to be now…”

Inilah aku dan ini semua nyata. Aku berada di tempat dimana memang seharusnya aku berpijak. Itulah arti penggalan lagu tersebut.

Hati Jonghyun berontak ketika lagu tersebut bermain lagi di otaknya. Jika musik adalah kepribadiannya, maka ia harus berpijak di tempat yang benar.

***

“Bagaimana nasibmu?”

Pertanyaan itu tidak segera dijawab oleh Jonghyun. Ia duduk di sebelah Key. “Buruk sekali, Key. Buruk sekali…” gumam pemuda itu dengan nada frustasi. “Ayahku mengamuk dan mengancam akan memindahkanku ke Amerika Serikat dalam waktu beberapa bulan lagi.”

“Ya ampun!” Key mengerjap. “Ayahmu benar-benar keras kepala, Jonghyun.”

“Tolong bantu aku, Key,” pinta Jonghyun dengan wajah memelas.

Key menghela napas. “Memangnya apa yang bisa kubantu?”

“Ayah berkata beliau tidak perlu memindahkanku ke Amerika Serikat bila aku mendapatkan nilai delapan untuk Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi. Tapi itu tidak mungkin!”

Pemuda yang duduk di sebelahnya mengangguk-angguk kecil sambil mengelus dagunya. “Itu mungkin-mungkin saja, Jonghyun,” gumam Key.

“Heh? Bagaimana caranya?”

“Kita akan meminta bantuan sepupuku. Dia sangat cerdas, bahkan kecerdasannya hampir sama dengan Onew hyung yang sudah lulus.”

Mata Jonghyun bersinar-sinar. Namun rasa pesimis kembali muncul di hatinya. “Tapi… apa benar-benar bisa? Walaupun yang mengajariku Fisika adalah Einstein sekalipun, kurasa semuanya akan mustahil.”

“Hei, jangan putus asa begitu, Kim Jonghyun!” seru Key sambil memukul pelan bahu sahabatnya. “Kau bilang musik adalah hidupmu, ‘kan? Sumber kesenanganmu? Kalau itu memang benar, kau harus mengejarnya! Jangan biarkan ayahmu merusak kebahagiaanmu! Buktikan bahwa kau juga bisa dalam bidang akademik walaupun tidak menjadi seorang expert!”

Rasa semangat mulai tumbuh di dalam benak Jonghyun. Ia tersenyum. “Kau memang cerewet, Key, seperti biasanya. Tapi apa yang kauucapkan memang benar. Let’s do this!

“Tumben kau bisa berbicara dalam Bahasa Inggris dengan benar,” gumam Key.

***

Awalnya Jonghyun mengira sepupu yang dimaksud Key adalah seorang pemuda dengan penampilan nerd atau gadis berambut panjang lalu dikepang dua dan berkacamata besar, sama seperti yang sering ditampilkan di film-film. Namun ia tidak pernah menyangka bila ternyata sepupu Key adalah Luna. Gadis cerdas yang ditemuinya beberapa hari yang lalu di sekolah.

Entah sudah berapa kali Jonghyun mengucek matanya. Ia ingin memastikan bahwa Luna benar-benar sepupu Key karena mereka berdua sama sekali tidak memiliki kemiripan. Key yang melihat tingkah laku Jonghyun langsung menjitak kepalanya.

“Jangan berbuat mesum!” seru Key.

Jonghyun mengelus kepalanya yang terasa sakit. “Siapa yang mesum?! Daritadi aku memperhatikan Luna karena dia tidak mirip denganmu!”

“Jelas saja tidak mirip,” sahut Key sewot. “Kami adalah kerabat jauh! Aku saja baru bertemu dengannya saat dia masuk ke SMA.”

“Oh, jadi itu sebabnya…”

“Makanya jangan asal bertindak!”

“Sudahlah, oppa,” lerai Luna. “Sebenarnya untuk apa oppa dan Jonghyun-ssi datang menemuiku?”

“Ah, jadi sahabatku ini memiliki masalah dalam pelajaran akademik. Aku tidak akan membicarakan nilai-nilai akademiknya karena kuyakin itu hanya akan membuatnya emosi,” kata Key yang langsung disambut oleh deathglare milik Jonghyun. Namun pemuda itu tetap cuek. “Jonghyun sangat menyukai musik dan ia selalu mendapat nilai tertinggi di kelasnya. Tapi ayahnya tidak merestuinya untuk terjun ke dunia musik. Selanjutnya, kau saja yang cerita! Ini ‘kan masalahmu.”

Jonghyun menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Uhm, kau sudah tahu sendiri ‘kan tentang permasalahanku? Ayah mengancam untuk memindahkanku ke Amerika Serikat. Kecuali bila aku mendapatkan nilai delapan untuk mapel Matematika dan IPA. Jadi, Luna-ssi… kumohon, bantulah aku! Aku tahu kau adalah orang yang cerdas, jadi…”

“Apa yang dikatakan Jonghyun memang benar,” tambah Key. “Semua orang tahu kau adalah orang cerdas dan kurasa membantu Jonghyun dalam belajar tidak akan menganggumu sama sekali. Kau sendiri bisa mengatur jadwal belajarmu dengan mudah. Tidak seperti Jonghyun.”

Luna terdiam sebentar. Dia mengerjapkan matanya ketika melihat mata Jonghyun yang berbinar penuh harap. Akhirnya, dia mengangguk sambil tersenyum. “Baiklah. Aku akan mencoba untuk membantu Jonghyun-ssi.”

Sebuah senyum terbentuk di wajah Jonghyun. Ia menjabat tangan Luna lalu mengguncangkannya beberapa kali. “Terima kasih, Luna-ssi! Terima kasih!”

Kini, Luna adalah satu-satunya harapan yang ia miliki supaya bisa bebas dari ancaman ayahnya.

***

Dua hari setelah kesepatan yang dibuat bersama, Jonghyun langsung menerima tambahan pelajaran dari Luna. Gadis itu mengajarinya dengan sangat sabar ketika mereka berada pada bab siklus nitrogen. Jonghyun yang awalnya sama sekali tidak mengerti tentang bab tersebut, kini mulai memahaminya.

“Jadi kau sudah paham tentang siklus nitrogen, Jonghyun-ssi?”

Pemuda itu mengangguk. “Lumayan.”

“Coba jelaskan sekali lagi.”

“Pertama, nitrogen mengalami fiksasi yang dilakukan oleh bakteri Rhizobium sp. yang terdapat pada bintil akar tanaman kacang-kacangan. Lalu nitrogen tersebut diubah menjadi amonia oleh bakteri atau disebut dengan proses amonifikasi. Amonia dirombak oleh bakteri Nitrosomonas dan Nitrosococcus menjadi ion nitrit. Selanjutnya ion nitrit dirombak oleh Nitrobacter menjadi nitrat. Akhirnya, nitrat tersebut dapat diserap oleh tumbuhan dan makhluk hidup lain,” urai Jonghyun.

Seulas senyum mengembang di wajah Luna. “Bagus sekali. Kurasa kau cukup cepat dalam memahami materi Biologi.”

Jonghyun mengibaskan tangannya. “Itu semua karena kau, Luna. Cara mengajarmu sangat simpel untuk diterima oleh otakku yang bodol soal akademik.”

“Tidak, tidak,” Gadis itu menggeleng. Senyum masih menghiasi wajahnya. “Ini semua berkat semangatmu, Jonghyun-ssi. Kurasa syarat dari ayahmu-lah yang membuatmu bersemangat untuk mempelajari mapel akademik yang semula tidak kausukai.”

Jonghyun tersenyum simpel. “Mungkin memang begitu. Aku ingin cepat-cepat memenuhi syarat yang diajukan ayahku. Setelah itu aku bisa melakukan apapun yang kusuka di bidang musik.”

Luna melirik jam tangannya. Ternyata mereka sudah belajar bersama di perpustakaan sekolah selama hampir dua jam. Bahkan seorang petugas perpustakaan telah memberikan tanda pada mereka untuk segera pulang karena sebentar lagi perpustakaan akan ditutup.

Berhubung hari sudah sore, Luna dan Jonghyun memutuskan untuk mengakhiri kegiatan belajar bersama hari ini. Jonghyun juga sudah merasa cukup menerima pelajaran dari Luna. Gadis itu memang cerdas dan penjelasannya mudah dipahami.

“Aku pamit pulang dulu, Jonghyun-ssi,” ucap Luna sambil membungkukkan badannya. “Semoga kau mendapatkan waktu yang baik untuk belajar.”

“Terima kasih, Luna,” balas Jonghyun. Ia tersenyum. “Aku akan sangat senang bila nanti kau mau meluangkan waktu lagi untuk membantuku belajar.”

Gadis itu membalas senyumannya. “Well, jika aku ada waktu tentu saja aku akan dengan senang hati membantumu.”

Mereka berdua berjalan keluar dari sekolah lalu berpisah di sebuah pertigaan. Jonghyun dapat berjalan kaki dari sekolah, namun Luna harus menyetop sebuah bis untuk sampai ke rumahnya. Jadi, gadis itu menunggu sebentar di halte.

Rencana untuk tidur sebentar di kamar usai sampai di rumah harus tertunda ketika Jonghyun dipanggil oleh ayahnya. Ia menghela napas lalu menghadap sang ayah.

“Sudah sore begini, kau darimana saja?” tanya Tuan Kim penuh selidik.

“Apakah Ayah akan percaya padaku bila kukatakan aku baru saja belajar bersama seorang teman?” Jonghyun bertanya balik.

Kedua alis Tuan Kim bertaut. “Belajar? Itu tidak seperti kau, Jonghyun.”

“Lebih baik Ayah tidak usah berkomentar,” sahut Jonghyun. “Aku akan belajar, mendapat nilai delapan, memenuhi persyaratan yang dibuat Ayah, kemudian aku akan mendaftar di Fakultas Seni Musik.” Ia berbalik dan berjalan menuju kamarnya.

“Daripada kau bicara, lebih baik kau buktikan hal itu, Jonghyun!” seru Tuan Kim. “Jika kau mendapat nilai tujuh koma sembilan saja, maka aku akan langsung mengirimmu ke Amerika tanpa ampun!”

Jonghyun dapat mendengar seruan itu dari kamarnya. Namun ia lebih memilih untuk berbaring di bawah selimutnya dan tidak peduli.

***

Ini sudah terhitung yang keempat kalinya mereka belajar bersama. Luna benar-benar membantu Jonghyun. Kini pemuda itu memiliki jadwal belajar yang lebih teratur dari sebelumnya. Yah, walaupun sebagian besar masih dikuasai oleh seni musik.

Jadwal belajar bersama mereka adalah tiap hari Senin, Kamis dan Jumat. Luna memiliki jadwal bimbingan belajar sehingga tidak bisa datang setiap hari. Hal itu membuat Jonghyun agak heran. Untuk apa seorang yang memang sudah cerdas mengikuti bimbingan belajar di tempat lain? Jonghyun juga tidak bisa meluangkan waktu setiap hari hanya untuk belajar mapel akademik. Hari Sabtu dan Minggu diluangkannya khusus untuk musik.

Biasanya mereka berdua belajar bersama usai pulang sekolah di perpustakaan. Namun berhubung gedung perpustakaan sedang direnovasi, maka mereka terpaksa mencari tempat lain. Dan tempat itu jatuh pada rumah Key.

Awalnya pemuda itu tidak mau rumahnya dijadikan tempat ‘les’. Menurutnya hal itu adalah urusan Jonghyun sehingga ia tidak mau diikutkan ke dalamnya. Namun saat Jonghyun menggodanya akan menyebarkan berita bahwa Key tengah dekat dengan seorang perempuan, pemuda itu langsung setuju.

“Aku akan membalasmu, Kim Jonghyun,” desis Key.

Jonghyun menaikkan sebelah alisnya lalu mengeluarkan cengiran khasnya. “Heh, memangnya apa yang bisa kauperbuat, Key? Oh, haruskah kutulis sebuah artikel lalu kutempel di mading―Kim Kibum alias Key sang juara Bahasa Inggris tengah dekat dengan seorang perempuan yang menjadi tetangganya baru-baru ini? Gadis yang memiliki penampilan menyerupai laki-laki, sering bertengkar denganmu dalam Bahasa Inggris dan diam-diam kau menyukainya…”

Wajah Key memerah karena amarah. “Lebih baik kau diam―”

“Oke, oke,” Luna berusaha melerai. “Key oppa, lebih baik kau turun ke bawah atau menemui tetangga barumu itu. Tadi aku melihatnya sedang berolahraga di halaman rumahnya. Kau bisa menyapanya, mengajak kencan atau apalah.”

Key mendelikkan matanya. “Kau baru beberapa kali bersama Jonghyun tapi kelakuanmu sudah mirip seperti dia!” Pemuda itupun pergi.

“Ayo kita belajar lagi,” ajak Jonghyun. “Aku sama sekali tidak mengerti tentang rumus turunan kosinus ini. Well, sebenarnya aku tidak mengerti semua yang tertulis di buku Matematika.”

Luna tertawa kecil. “Jangan pesimis begitu, Jonghyun-ssi. Aku yakin kau akan segera memahaminya.”

Gadis itu mengambil pulpen miliknya dan mulai menjelaskan tentang rumus turunan kosinus. Jonghyun hanya mengernyitkan keningnya sambil mengangguk-angguk walaupun yang masuk ke otaknya baru tiga puluh persen. Luna memberinya beberapa contoh soal dan menyuruh Jonghyun untuk mengerjakannya.

“Kenapa kita harus belajar di rumah Key oppa?” tanya Luna saat Jonghyun sedang mengerjakan soal. “Kenapa tidak di rumahmu saja?”

“Aku yakin kau tidak mau mendengar teriakan ayahku,” jawab Jonghyun. “Beliau begitu ngotot untuk menyekolahkanku di Amerika dan pesimis dengan syarat yang diajukannya sendiri. Apapun yang kulakukan untuk memenuhi syarat tersebut, dinilai sia-sia saja di matanya.”

Luna mengangguk, berusaha untuk mengerti. “Kau tidak boleh menyerah, Jonghyun-ssi.”

Pemuda itu tersenyum. “Tentu saja. Dan tolong berhentilah memanggilku dengan formal. Aku lebih tua darimu, ‘kan? Panggil saja aku dengan oppa, sama seperti kau memanggil Key.”

“Baiklah, Jonghyun oppa,” balas Luna sambil tertawa.

“Kau bisa mengajariku tentang materi yang ini?” tanya Jonghyun sambil menunjuk buku tulisnya. “Aku tidak mengerti apa-apa tentang persamaan kuadrat.”

“Oke, akan kujelaskan.”

Si gadis jenius itu mulai menerangkan persamaan kuadrat kepada si penggila musik. Rumus per rumus diterangkannya dengan sabar hingga Jonghyun benar-benar mengerti. Si pemuda menggaruk kepalanya, terkadang memijatnya sedikit, karena terasa pusing. Konsentrasi benar-benar dicurahkan Jonghyun, meskipun materi yang baru masuk sekitar lima puluh persen.

“Bagaimana?”

Jonghyun menggeleng-gelengkan kepalanya. “Matematika benar-benar sulit. Aku tidak bisa langsung memahaminya sepenuhnya.”

“Ah, aku mengerti,” kata Luna sambil tersenyum kecil. “Tapi bagaimana jika dibandingkan dengan sebelumnya?”

Well, jauh lebih baik sebenarnya,” Sebuah senyum terbit di wajah Jonghyun. “Terima kasih.”

“Sama-sama.”

***

Hari ini Jonghyun merasa sangat gugup. Dana songsaenim, guru Matematika-nya, akan mengadakan ulangan harian. Biasanya setiap ulangan harian Matematika diadakan, Jonghyun selalu masuk dalam daftar remidi. Namun kali ini ia berharap sesuatu yang ajaib akan terjadi.

Sehari sebelumnya ia telah mengikuti tambahan pelajaran yang diberi Luna dan belajar mati-matian hingga kepalanya terasa pusing tujuh keliling. Walaupun Jonghyun tahu ia bukanlah seorang jenius Matematika dan sama sekali tidak tertarik di dalamnya, tetapi ia harus berusaha. Demi memenuhi syarat yang diberikan sang ayah.

“Waktu kalian untuk mengerjakan adalah satu setengah jam,” kata Dana songsaenim. “Kerjakan dengan teliti dan jujur.”

Jonghyun langsung membaca soal lekat-lekat, menganalisanya lalu mulai mengerjakan. Rumus-rumus dan cara simpel yang pernah diajarkan Luna diterapkannya pada soal-soal tersebut, walaupun ia sendiri tidak tahu apakah jawabannya benar atau tidak. Sudahlah, yang penting ia sudah berusaha.

Soal pilihan ganda telah usai umurnya. Kini tinggal menghadapi soal esai, soal keramat yang sering ditakuti oleh para siswa. Jonghyun meneguk salivanya.

Soal pilihan ganda berjumlah dua puluh soal sedangkan soal esai berjumlah sepuluh soal. Dana songsaenim memang terkenal kejam dalam membuat soal ulangan. Soal pilihan ganda memiliki skor satu untuk tiap jawaban benar. Sedangkan soal esai memiliki skor tiga untuk tiap soalnya. Jika ia ingin mendapat nilai delapan, maka ia harus menjawab benar seluruh soal pilihan ganda dan setidaknya tujuh soal esai, karena ia merasa ‘kagok’ jika berhadapan dengan soal esai.

Waktu satu setengah jam berlalu dengan cukup lama. Saat Dana songsaenim menyuruh seluruh siswa mengumpulkan lembar jawaban, Jonghyun langsung mengumpulkannya lalu terduduk di kursinya dengan lemas. Otaknya benar-benar terasa ingin meledak. Key yang duduk di sebelahnya hanya tersenyum.

‘Biasanya dia tidak seserius ini jika mengerjakan ulangan Matematika,’ batin Key. ‘Wow, efek yang diberikan Luna benar-benar luar biasa. Kurasa mereka adalah jodoh, kekeke~’

Dana songsaenim langsung mencocokkan jawaban dengan membagikan lembar jawaban pada murid secara acak lalu menyuruh mereka untuk menilai jawabannya. Proses pencocokkan jawaban telah selesai dan murid-murid mengembalikannya kepada sang guru. Kemudian sang guru membagikannya kepada murid sesuai miliknya.

Bulu kuduk Jonghyun langsung meremang seolah sedang melihat hantu ketika namanya dipanggil Dana songsaenim. Guru itu memberikan lembar jawaban milik Jonghyun dan hanya tersenyum kecil. Jonghyun kembali ke tempat duduknya lalu perlahan mengintip nilai yang tertera di sana.

Enam puluh.

Itu nilai yang didapatkan setelah kerja kerasnya belajar semalaman. Jonghyun menghela napas dengan kecewa. Jika ulangan harian saja ia mendapat enam puluh, bagaimana dengan ujian kelulusan nanti? Nilai enam puluh masih jauh dari targetnya.

***

Saat bertemu Jonghyun usai pulang sekolah, Luna merasa heran pada pemuda itu. Biasanya Jonghyun selalu bersemangat untuk melakukan tambahan pelajaran bersama dirinya. Mereka akan pergi ke suatu tempat yang tenang dan terkadang Jonghyun berkata, “Aku akan memenuhi persyaratan ayahku. Jika itu terjadi, aku akan mengabdikan diriku pada musik seumur hidup.”

Namun kini yang terlihat hanya wajah tanpa ekspresi. Pandangan mata yang entah tertuju kemana, sudut bibir yang tidak membentuk derajat secuilpun serta wajah yang menunduk ke bawah.

“Hari ini kita mau belajar dimana?” tanya Luna.

Pemuda di sampingnya hanya diam.

“Bagaimana kalau di rumahku?”

“…tidak masalah.”

Akhirnya, mereka berdua pergi ke rumah Luna.

Jonghyun tetap diam walaupun Luna sedang mengajarkannya materi fisika. Biasanya pemuda itu akan menggaruk kepalanya karena tidak mengerti konsep yang sedang diajarkan, mengutuk pelajaran akademik atau mengeluarkan candaan supaya tidak stres. Luna merasa janggal dengan keadaan Jonghyun.

Oppa, kau kenapa?” tanyanya.

“Tidak apa-apa,” jawab Jonghyun sambil tersenyum kecil.

“Kau tidak boleh putus asa meski mendapat nilai yang tidak sesuai dengan keinginanmu,” tembak Luna.

Jonghyun mengerjap. “Darimana kau tahu??”

“Aku tahu jika Dana songsaenim sedang mengadakan ulangan harian, karena kemarin kelasku juga melakukannya. Kemarin kau sangat bersemangat, meski kau mengaku banyak materi yang belum dipahami. Namun sekarang kau terlihat sangat emotionless, jadi aku berasumsi kau mendapat nilai yang tidak sesuai dengan keinginan,” jelas Luna.

“Asumsimu seratus persen benar,” gumam Jonghyun. “Aku merasa bahwa semua ini akan berjalan sesuai harapanku dan aku begitu bersemangat untuk menuntaskan semuanya. Semalam aku sudah belajar begitu keras, bahkan itu pertama kalinya aku belajar hingga kepalaku terasa sakit. Namun aku hanya mendapat nilai enam puluh. Aku merasa… apa yang sudah kulakukan tidak ada gunanya. Mungkin aku memang bodoh dalam bidang akademik.”

Oppa bilang hanya?” Nada bicara Luna agak meninggi. Gadis itu menghela napas. “Enam puluh merupakan nilai yang baik. Oke, jangan bicara soal nilai. Tapi pikirkanlah tentang progres yang kau alami! Itu yang paling penting.”

Perkataan Luna membuat Jonghyun terdiam.

“Aku tahu dari Key oppa jika kemarin oppa mendapat nilai empat puluh di Matematika. Namun sekarang oppa mendapat enam puluh. Itu progres yang bagus!” kata Luna. Ia menatap Jonghyun lekat-lekat. “Oppa bilang sendiri jika oppa tidak terlalu menguasai bidang akademik, tapi menurutku itu hanya masalah keyakinan saja. Selama ini tidak ada yang mendorong oppa untuk memperbaiki bidang tersebut, namun setelah ayahmu memberi syarat, oppa ingin memenuhi syarat tersebut. Karena kecintaan oppa pada musik dan ingin lepas dari kekangan ayah tentang pilihan masa depan, oppa memutuskan untuk meningkatkan nilai di bidang akademik.”

Rasanya Jonghyun seperti baru melihat cahaya. Cahaya terang diiringi melodi indah yang menempel di setiap perkataan Luna.

Oppa tidak boleh menyerah begitu saja,” kata Luna dengan lembut. “Perlahan tapi pasti. Bulan ini oppa mendapat enam puluh, bulan depan oppa akan mendapat tujuh puluh dan delapan puluh sesuai target oppa saat ujian kelulusan nanti. Hal itu akan terwujud asal oppa terus berjuang.”

Perlahan sebuah senyum mengembang di wajah Jonghyun. Pemuda itu menatap Luna lekat-lekat. “Aku memang terlalu mudah menyerah… Apa yang kaukatakan benar, Luna. Aku harus berjuang. Bukan demi Ayah, tapi demi diriku sendiri.”

“Aku akan membantu oppa, jadi tenang saja.”

“Terima kasih, Luna…”

Gadis itu tersenyum manis. “Sama-sama.”

Sesaat setelah melihat lengkungan manis di wajah Luna, Jonghyun merasakan ada sesuatu yang berbeda. Seolah senyum itu memberi kesan berbeda dan tertinggal dalam memorinya. Senyum yang tiba-tiba memberi efek electric shock pada dirinya.

***

Kini semangat Jonghyun kembali berapi-api. Ia begitu ingin ‘mengalahkan’ ayahnya pada pertarungan antara pilihan masa depan. Kesempatan hanya datang satu kali dan ia tidak akan menyia-nyiakannya begitu saja. Meski kemampuannya biasa-biasa saja, namun dengan bantuan Luna semuanya menjadi mudah.

Tak terkira jasa yang telah diukir oleh gadis jenius itu. Dia begitu sabar dalam menghadapi kelemotan Jonghyun di mapel IPA dan Matematika. Selama ini belajar adalah suatu hal yang tidak disukai Jonghyun, namun sekarang ia lebih menghargainya.

Hari-hari dilalui Jonghyun dengan belajar bersama Luna. Terkadang mereka mengambil tempat di rumah Key, di rumah Luna, bahkan pernah di kedai ramen di pinggir jalan.

Pernah suatu hari Dana songsaenim mengadakan ulangan harian lagi. Dan yang membuat seluruh siswa tercengang adalah untuk pertama kalinya Jonghyun mendapat nilai tujuh puluh dan lolos dari daftar remidi. Apa yang dikatakan Luna sangat tepat. Jonghyun terkadang bertanya-tanya, apakah gadis itu memiliki kemampuan meramal masa depan. Namun ia hanya menggeleng menanggapi pertanyaan konyol itu. Semuanya terjadi karena usahanya dan bantuan dari Luna. Tanpa semua itu, ia tidak akan mendapat nilai tujuh puluh.

Tak hanya di mapel Matematika yang mendapat progres sangat baik, namun juga di mapel IPA. Nilai Jonghyun sudah mulai naik dan perlahan ia memahami materi Fisika, Kimia dan Biologi. Walaupun ia masih mengutuk keempat mapel tersebut, ia bersyukur semuanya berjalan sesuai harapan.

Ujian kelulusan hampir menjelang. Tinggal menunggu satu minggu lagi maka hari yang dikeramatkan seluruh siswa itu akan tiba. Sesuai jadwal, hari ini Jonghyun akan belajar di rumah Luna.

Well, ini pertama kali aku masuk ke kamar perempuan,” kata Jonghyun begitu memasuki kamar Luna.

Gadis itu tertawa. “Aku tidak khawatir karena ada ayah dan ibuku di bawah. Jika terjadi sesuatu, aku tinggal berteriak.”

Jonghyun menyipitkan matanya. “Kaukira aku akan melakukan hal yang macam-macam?”

“Tidak kok, aku hanya bercanda. Hehehe~” Luna terkekeh. Jonghyun hanya tersenyum melihat Luna. Gadis itu terlihat manis jika sedang tertawa. “Ayo kita mulai belajarnya…”

Kegiatan belajar bersamapun dimulai. Hari ini Luna akan menjelaskan tentang bab persenyawaan hidrokarbon. Seperti biasanya, Jonghyun akan menggaruk kepalanya dan mengutuk Kimia. Luna yang melihat itu hanya tersenyum.

“Tidak terasa seminggu lagi ujian kelulusan akan dimulai,” kata Luna. “Berarti sebentar lagi kita akan berpisah, ya?”

Jonghyun termenung. Soal Kimia yang sedang dikerjakannya tiba-tiba diacuhkannya untuk sesaat.

“Benar juga…”

“Kau pasti bisa mengejar impianmu, oppa,” ucap Luna sambil tersenyum.

Pemuda itu balas tersenyum. “Ya, aku akan meraihnya. Bagaimana denganmu? Apa langkah selanjutnya setelah kau lulus SMA?”

Well…” Luna mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu. “Mungkin aku akan mengambil jurusan psikologi. Eh, oppa tahu tidak? Aku sempat terpikir untuk mengambil jurusan musik lho.”

“Heh?” Alis Jonghyun terangkat sebelah. “Kenapa bisa begitu? Katanya kau tidak terlalu menguasai musik?”

Luna tertawa kecil. “Aku hanya kagum dengan semangat oppa yang ingin mengabdi pada musik. Kurasa itu sedikit mempengaruhiku. Tapi aku langsung menepis pemikiran itu, karena aku hanya bisa menyanyi.”

“Suaramu bagus. Kalau diasah sedikit, kau bisa menjadi penyanyi.”

“Eh? Terima kasih,” kata Luna sambil tersenyum. “Tapi aku hanya senang menyanyi. Berbeda dengan oppa yang mencintai musik.”

Jonghyun hanya tersenyum lalu ia kembali memfokuskan diri pada pelajaran. Ia kagum pada Luna. Gadis itu memang pintar dan logikanya benar-benar hebat. Satu hal lagi yang membuat Jonghyun kagum adalah gadis itu mampu membuatnya yakin dengan apa yang dijalaninya. Bahwa ini memanglah jalan hidup yang cocok dengannya.

Ia pernah berada di titik terendah dalam hidupnya ketika sang ayah ingin menginterupsi masa depan yang menjadi haknya. Suatu syarat yang belum pernah terpikirkan Jonghyun membuatnya hampir putus asa. Ia akui, ia memang pemuda lemah yang butuh sebuah penopang.

Dan Luna adalah penopang yang baik.

Semangat dan bantuan yang selalu diulurkan gadis itu benar-benar menolongnya dari keputus asaan. Membuatnya yakin bahwa ia bisa melewati rintangan dalam hidup demi meraih apa yang diinginkannya.

Waktu telah berjalan dari pertama kali mereka bertemu, saat Jonghyun mendengar Luna menyanyi. Lirik yang dinyanyikan gadis itu menguatkannya, padahal mereka baru berkenalan saat itu. Perlahan―secara sadar atau tidak―Jonghyun membagi hatinya menjadi dua ruang. Satu untuk musik yang menjadi hasratnya sejak kecil, dan satu lagi untuk si pemberi semangat, Luna.

***

Ujian kelulusan telah usai. Kini waktunya tiba untuk pengumuman hasil ujian.

Jonghyun datang ke sekolah bersama kedua orangtuanya. Ia dan ayahnya belum berbicara sepatah kata pun sejak tadi pagi. Ia mengedarkan pandangannya, berharap menemukan Luna. Tak lama kemudian, ia menemukan gadis itu. Luna duduk di sebelah utara bersama orangtuanya. Ia hanya tersenyum samar.

Acara wisuda dan pengumuman hasil ujian dimulai. Acara tesebut diawali oleh pembukaan dari Kepala Sekolah dan perwakilan guru. Jonghyun melewati bagian acara itu dengan menguap dan menghabiskan konsumsi. Lalu ada penampilan dari paduan suara dari tingkat satu dan tingkat dua. Jonghyun mengeluarkan smirk-nya ketika mendengar ada salah satu suara anggota paduan suara yang terdengar sumbang saat menyanyikan high note.

Waktu berjalan hingga tiga puluh menit, lalu tiba saatnya untuk membagikan hasil pengumuman. Seluruh otot tubuh Jonghyun langsung kaku. Ia meremas jari-jari tangannya dengan gugup saat wali kelas membagikan amplop berisi nilai hasil ujian kelulusan pada murid-murid. Jonghyun memegang amplop tersebut dengan ekspresi tegang. Ayahnya mendengus dan ibunya menatap Jonghyun dengan cemas. Perlahan, Jonghyun membuka amplop tersebut dan membacanya.

Ia tercengang lalu terdiam.

“Sebenarnya amplop itu isinya apa?” tanya sang ayah dengan skeptis. “Tiket pesawat ke Amerika, ya?”

Jonghyun menyerahkan kertas berisi nilai ujian kepada sang ayah tanpa menatapnya. Tuan Kim membetulkan letak kacamatanya dan membaca isi kertas tersebut. Beliau mengerjap kaget.

Matematika      : 8,7

Fisika               : 8,0

Kimia               : 8,3

Biologi             : 8,0

Bahasa Korea : 8,1

 

“Ini saatnya aku menagih janji Ayah,” kata Jonghyun pelan.

Tuan Kim menatap anaknya lekat-lekat. “Tapi, Nak… Dengan nilai seperti ini, kau pasti bisa―”

“Ayah sudah berjanji,” potong Jonghyun. Ia menatap ayahnya. “Aku sudah melakukan hal yang kubenci dan kini aku ingin menikmati sisa hidupku dengan melakukan hal yang kusukai.”

Kesungguhan di mata Jonghyun perlahan melunturkan hati Tuan Kim. Beliau menghela napas. “Baiklah, Kim Jonghyun. Lagipula Ayah sudah berjanji padamu. Kau bebas memilih apa yang kauinginkan.”

“…terima kasih.”

***

“Selamat atas kelulusanmu!”

Jonghyun tersenyum. “Terima kasih, Luna. Kau juga. Mendapat ranking satu paralel. Itu luar biasa.”

Gadis di hadapannya tertawa kecil. “Hehehe~ Itu bukan apa-apa kok. Tumben oppa mengajakku jalan-jalan begini.”

Well, anggap saja ini sebagai ucapan terima kasihku karena kau telah membantuku belajar.”

“Kau berlebihan, oppa,” Luna mengibaskan tangannya. “Sudah kubilang, itu semua karena dirimu sendiri.”

Jonghyun hanya tersenyum kecil. Mereka berdua masuk ke dalam sebuah kafe dan mengambil tempat duduk di dekat jendela. Jonghyun memesan secangkir cappucino sedangkan Luna memesan milkshake coklat.

“Sudah memutuskan untuk melanjutkan kemana?”

“Aku akan melanjutkan ke Fakultas Psikologi,” jawab Luna. “Kalau oppa tetap di musik, ‘kan?”

Jonghyun mengangguk. “Tentu saja. Aku akan mendaftar di Sekolah Musik. Sebagai bekal, kini aku sudah mulai mengarang lagu.”

Mata Luna membulat. “Benarkah? Wow, itu hebat!”

“Semalam aku telah menyelesaikan satu lagu. Mau mendengarnya?”

Luna langsung mengangguk dengan antusias. Jonghyun tersenyum, mengambil napas pelan lalu mulai bernyanyi.

 

I’m like a thin wall

Want to stand, but the wind hit me

I’m like a butterfly

Want to fly, but the web block me

 

Life feels so non-sense

Dream thrown away

Then I fall into the darkness

Break into pieces

Life sounds like a lie

I can’t stay like this, not for my eternity

 

You smile like an angel

Take me back

To the right place

You sing so beautifully

Make me believe

Life isn’t that cruel

 

In the thin fog

On the top of sadness

You faintly shine…

Oh, my beautiful black pearl

 

Hanya lagu dengan beberapa bait saja, namun Jonghyun menyanyikannya dengan sempurna. Luna yang mendengarnya tidak berkedip sedikit pun, terlalu kagum pada apa yang dilihatnya tadi. Gadis itu tersenyum lebar lalu bertepuk tangan.

“Lagu yang sangat indah!” pujinya. “Kau benar-benar jenius.”

“Aku tidak akan pernah menciptakan lagu itu jika aku tidak bertemu seseorang yang membuatku terinspirasi,” kata Jonghyun.

“Bolehkah aku tahu siapa orangnya?” canda Luna.

Jonghyun tersenyum simpul. “Well, orangnya ada di hadapanku sekarang.”

Jawaban Jonghyun membuat Luna terkejut. Dia menatap Jonghyun tanpa berkedip. “A-aku?”

“Ya,” jawab Jonghyun sambil mengangguk kecil. “Kau adalah gadis yang cerdas, pasti kau mengerti alasan sebenarnya di balik lagu itu. Alasan yang menyangkut perasaanku…”

Jantung Luna berdetak makin cepat. Dia meneliti raut wajah Jonghyun. Senyumnya terlihat sederhana namun hangat, tatapannya nampak seperti menyiratkan suatu perasaan yang kuat dan perkataannya tadi terdengar lebih lembut. Jangan bilang jika…

“Aku mencintaimu, Luna,” tembak Jonghyun langsung. Ia menatap gadis di hadapannya dengan lembut.

“Idem,” balas Luna sambil tersenyum.

“Idem?” tanya Jonghyun dengan kening berkerut. “Jawaban apa itu? Pilihan yang tersedia hanya ‘Aku juga mencintaimu’ atau sebaliknya.”

“Oke, oke,” Luna memutar matanya. Namun beberapa saat kemudian, dia tertawa. “Aku juga mencintaimu, oppa.”

Well, itu jawaban yang bagus,” sahut Jonghyun. “Tadi bahkan aku berpikir untuk menyanyikan lagu Marry You supaya kau yakin dan menjawabnya.”

Wajah Luna memerah. “Oppa gila, ya? Kita baru saja lulus SMA!”

“Itu ‘kan hanya lagu,” balas Jonghyun. “Jangan-jangan kau benar-benar berharap untuk menikah denganku, ya?”

“Terserah…” Luna memanyunkan bibirnya. Rona merah masih menghiasi wajah gadis itu.

Don’t need a map as my guide

My heart will find the right direction

Don’t care about the road ahead

No matter how rugged or how many stops along the way

 

She’s my black pearl

The sun in the sky and the five oceans

Toward her, who shines brightly

 

In the thick fog, on top of the high waves

You faintly shine, my beautiful black pearl

In the deep silence, on top of the sad melody

I faintly hear my beautiful black pearl

 

(EXO Black Pearl)

End of Verse Two 

 

A/N: Failed romance. -_-

Bener-bener jauh dari kata romantis… Readers, please forgive me. ‘-‘